22 Desember 2010

Jangan Hancurkan Demokrasi Kultural Rakyat


Feodalisme dan Monarki hanyalah Istilah Usang dan Politis Bagi Mereka Kaum Neo-Liberalis dan Lainnya, Sehingga Local Wisdom Yogyakarta Dipaksakan Untuk Dihancurkan Oleh Mereka yang Berlindung dibalik Demokrasi, Mereka Lupa bahwa Kultural (local wisdom) adalah Sari Pati Demokrasi Itu sendiri.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara. Istilah ini berasal dari dua kata Yunani. Demo (orang) dan Kartos (Pemerintahan). Ini kedengarannya sederhana, tetapi tidak, karena hal itu menimbulkan banyak pertanyaan sulit (Held, 2006), misalnya : Orang-orang ? Masyarakat macam apa yang harus tunduk kepada aturan demokratis?
Pertengahan tahun 1998, ketika gerakan mahasiswa mempelopori lahirnya gerakan reformasi dengan menurunkan Soeharto, seolah ada ‘darah’ baru untuk merevitalisasi konsep-konsep demokrasi yang pernah menjadi barang haram pada masa rejim diktator Orde Baru.Ketika rakyat sudah jenuh dengan gaya kepemimpinan otoriter, orde baru. Kesepakatan rakyat dilakukan dengan kekuatan aksi massa yang besar di setiap kota besar, dengan aksi demontrasi besar-besaran yang tergabung dari berbagai macam aliansi, rakyat. Seperti Petani, Pelayan, Buruh Pabrik, Profesional, Pengusaha, mahasiswa dan akademisi. Puncaknya desakan kepada DPR dan MPR dengan cara menduduki gedung yang terhormat itu.
Reformasi kemudian hanyalah mimpi mulia akan lahir suatu negara sejahtra nyatanya adalah sebuah imaginer, angan-angan dan pepesan kosong belaka. Reformasi kemudian menyuburkan eforia demokrasi, lihat bagaimana menjamurnya partai politik, organisasi-organisasi baik Organisasi Pemerintah maupun swasta tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Namun tetap saja situasi tersebut tidak mampu untuk lebih mensejahterakan rakyat. Dewasa ini bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang kompleks, meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pembicaraan di kalangan manapun, kapan saja dan di mana saja, rasa galau, takut, jengkel, marah selalu mencuat. Semua mencoba mencari titik terang yang berujung tanya terhadap penyelengara negara serta sistem yang dijalankannya.Nampaknya Indonesia masih harus belajar berdemokrasi dan mengembangkannya karena tujuan reformasi belum selesai, sebab demokrasi hanya dimaknai sebatas pemilihan langsung dan memenangkan dirinya maupun golongannya (partainya)
Model transisi demokrasi, Indonesia saat ini adalah sebuah model yang berlaku di mana-mana di dunia yaitu modernization via internationalitation. Model transisi demokrasi ini memang lebih mengutamakan demokratisasi prosedural dan pro-pasar bebas; memperalat masyarakat sipil untuk terus mengingatkan bahwa peran Negara hanyalah pada persoalan politik dan tidak boleh mengintervensi ruang ekonomi yang harus diserahkan pada pasar. Gerakan pro-demokrasi di Indonesia harus melawan perkembangan ini dengan melakukan demokratisasi yang menentang berlakunya neo-liberalisme (democratisation against neo-liberalism). Tidak ada bukti faktual bahwa pemberlakuan nasionalisme ekonomi menyebabkan kebangkrutan ekonomi suatu negara, justru pemberlakuan neo-liberalismelah yang menyebabkan kebangkrutan ekonomi negara.
Disisi lain agenda Neo-Liberalisme turut serta ingin menghancurkan Local Wisdom (kearifan lokal), dengan cara berselingkuh dengan kekuatan politik. Kekuatan lokal adalah ancaman bagi istilah “Kapitalisme Lanjut” yang mencoba berinvansi keranah kearifan lokal, seperti budaya lokal ataupun bentuk kultural lainnya. Ketidakberdayaan negara dalam menolak intervensi kekuatan Neo-Liberalisme terutama dalam hutang memaksanya harus tunduk terhadap intervensi kekuatan tersebut, sehingga para politikus Neo-Liberalis harus melicinkan agenda Father Foundingnya tersebut.
Berkaca Dari Yogyakarta
Negara Yogyakarta sudah Tegak Berdiri sebelum lahirnya Republik ini. Negara Yogyakarta adalah kenyataan masyarakat yang hidup dalam tradisi-tradisinya, mulai dari kulturalnya hingga pola pemerintahannya. Secara Historis Negara Yogyakarta turut serta memapah Republik ini menuju pengakuan Internasional. Merupakan suatu anugrah ketika bergabungnya Negara Yogyakarta ke Republik Indonesia, yang kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta dan dituangkan dalam Konstitusi.
Polemik yang dilakukan pemerintah pusat dengan mengusik keistimewaan Yogyakarta yang jelas-jelas a-historis dan melanggar konstitusi, semua demi alasan demokrasi dan pemilihan langsung. Terlalu sempit pemahamannya jika demokrasi hanya di maknai sebatas itu. Atau sesungguhnya hal ini hanyalah akal-akal pemerintah saja yang sedang dirundung polemik korupsi sehingga berusaha mengalihkan perhatian publik, Ataukah ini merupakan agenda Neo_Liberal yang ingin memfederalkan republik ini dengan menghancurkan NKRI dan memulainya dari Yogyakarta???
Negara AS telah gagal menjalankan esensi dari Demokrasi itu sendiri, bahkan pada saat ini secara ekonomi sudah jatuh, untuk apa lagi berkiblat ke Barat, ke Erapa, ke Kiri atau ke Kanan maupun arah angin lainnya. Indonesia adalah Indonesia, Demokrasinya adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan dan hal ini sudah tertuang dalam Pancasila sila ke empat. Ketika Yogyakarta memusyawarahkan “penetapan’ itulah demokrasi sesungguhnya, jangan di kaburkan dengan istilah demokrasi Prosedural. Ataukah polemik ini dikarenakan pemerintah pusat terjangkit penyakit lupa akan Pancasila sila ke 4?.
Jika pemerintahan Otoritarian Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai Senjata Pemungkas Dalam “Meninabobokkan” masyarakat, selayaknya rezim SBY-Boediono menjadikan Pancasila sebagai Idiologi Bangsa untuk mensejahterakan rakyatnya.

Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar